Kedekatan geografis antara Indonesia dan Filipina telah mendorong perpindahan penduduk secara turun-temurun.Akan tetapi, kebijakan kewarganegaraan di kedua negara yang didasarkan pada prinsip *ius sanguinis* (hak darah) menyebabkan sejumlah warga tidak memiliki identitas resmi, sehingga menghambat akses mereka terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya.
Ruri Hariri Roesman, Kepala Kantor Imigrasi Bitung, menyatakan bahwa pendataan yang dilakukan menggunakan teknologi pengenal wajah dan pengambilan foto tiga dimensi demi memastikan akurasi data biometrik.
“Pendataan digital memastikan proses registrasi lebih akurat dan efisien. Hasilnya akan menjadi dasar penerbitan kartu identitas sementara yang diverifikasi oleh Pemerintah Filipina. Bila terbukti WN Filipina, akan diterbitkan paspor resmi. Jika terindikasi WNI, data diteruskan ke Ditjen AHU untuk penegasan status kewarganegaraan,” jelas Ruri.
Acara tersebut turut mencakup pelantikan Petugas Pembinaan 90 Desa Imigrasi (Desa Taat Status Keimigrasian/TASKIM) yang berperan sebagai garda terdepan dalam meningkatkan pemahaman hukum keimigrasian di wilayah desa dan kelurahan.
Peluncuran program ini diharapkan dapat menjadikan penanganan Permasalahan Peredaran Dokumen (PPDs) di Sulawesi Utara sebagai model penataan keimigrasian yang baik, berfokus pada kemanusiaan, dan mempererat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Filipina.