BMRPosti.id, Politik – Fahri Bachmid, seorang ahli hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi terkait perubahan sistem pemilu nasional dan daerah yang tidak lagi dilakukan bersamaan.
Namun, ia juga melihat implikasi konstitusional yang berpengaruh ke masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah.
Dengan mempertimbangkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah berikutnya baru akan dilaksanakan setidaknya pada tahun 2031, masa jabatan kepala daerah terpilih pada Pilkada 2024 yang seharusnya berakhir tahun 2029 akan berlanjut.
“Salah satu implikasi konstitusional serta teknis atas putusan MK ini yang harus dicermati oleh pembentuk UU adalah bangunan desain rekayasa konstitusional (constitutional engineering), berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD termasuk masa jabatan kepala daerah sesuai kaidah ‘formulation of the norm’,” kata Fahri kepada wartawan, Jumat (27/6/2025).
Pengaturan peralihan pemerintahan atau pembentukan mekanisme transisi terkait posisi kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan serentak 27 November 2024, dan anggota DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota yang terpilih melalui pemilu 14 Februari 2024.
Dengan kata lain, Fahri mengemukakan bahwa pengaturan waktu dan periode yang ditetapkan menimbulkan implikasi hukum yang mengharuskan adanya perpanjangan masa jabatan bagi anggota DPRD terpilih pada Pemilu 2024.
“Yang seharusnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2029, dapat diperpanjang 2 tahun menjadi tahun 2031. Kelihatannya perumusan kebijakan perpanjangan untuk anggota DPRD merupakan sebuah legal policy yang terkait serta terpercaya,” tuturnya.
Adapun mengenai kepala daerah, Fahri mengemukakan bahwa DPR memiliki opsi untuk merumuskan kebijakan hukum lain, baik melalui mekanisme Penjabat Kepala Daerah (Pj) ataupun dengan memperpanjang masa jabatan mereka.
“Sebab penentuan model mana yang tepat secara konstitusional, itu merupakan ‘open legal policy’ yang tentunya menjadi domain serta kewenangan pembentuk UU dalam merumuskan ‘constitutional engineering,” tutup Fahri